Minggu, 04 Desember 2011

HUBUNGAN IBADAH DAN KESALEHAN SOSIAL

Pendahuluan
            Manusia diciptakan bukan sekedar hidup mendiami dunia ini dan kemudian mengalami kematian tanpa adanya pertanggung-jawaban kepada penciptanya, melainkan manusia itu diciptakan oleh Allah SWT untuk mengabdi kepadaNYA. Sebagaimana dinyatakan dalam Al Qur’an surah al Bayyinah ayat 5 :
"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.
            Dapat kita pahami dari ayat ini bahwa manusia diciptakan bukan sekedar sebagai unsur pelengkap isi alam saja yang hidupnya tanpa tujuan, tugas dan tanggung-jawab. Sebagai makhluk yang diciptakan paling sempurna, pada hakikatnya manusia diperintahkan untuk mengabdi kepada penciptanya, Allah SWT.
            Pada prinsipnya pengabdian manusia (ibadah) merupakan sari dari ajaran Islam yang mempunyai arti penyerahan diri secara total pada kehendak Allah SWT. Dengan demikian, hal ini akan mewujudkan suatu sikap dan perbuatan dalam bentuk ibadah. Apabila ini dapat dicapai sebagai nilai dalam sikap dan perilaku manusia, maka akan lahir suatu keyakinan untuk tetap mengabdikan diri kepada Allah SWT dan tentunya bila keyakinan itu kemudian diwujudkan dalam bentuk amal keseharian akan menjadikan maslahah dalam kehidupan sosial.

PEMBAHASAN
I. IBADAH
A. Definisi ibadah.
Kata ibadah berasal dari bahasa arab sudah menjadi bahasa Indonesia yang terpakai dan dipahami secara baik oleh orang-orang yang menggunakan bahasa melayu termasuk Indonesia. Ibadah dalam istilah bahasa Arab diartikan dengan berbakti, berkhidmat, tunduk, patuh, mengesakan dan merendahkan diri. Dalam istilah melayu diartikan: perbuatan untuk menyatakan bakti kepada Allah yang didasari ketaatan untuk mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Juga diartikan: segala usaha lahir dan batin sesuai dengan perintah Tuhan untuk mendapatkan kebahagiaan dan keselarasan hidup, baik terhadap diri sendiri, keluarga, masyarakat maupun terhadap alam semesta. Syaikh Mahmud Syaltut dalam tafsirnya mengemukakan formulasi singkat tentang arti ibadah, yaitu “ketundukan yang tidak terbatas bagi pemilik keagungan yang tidak terbatas pula”

B. Pembagian Ibadah.
Ibadah dibagi menjadi dua, yaitu ibadah mahdhoh dan ibadah ammah. Ibadah mahdhah (murni), adalah suatu rangkaian aktivitas ibadah yang ditetapkan Allah Swt. Dan bentuk aktivitas tersebut telah dicontohkan oleh Rasul-Nya, serta terlaksana atau tidaknya sangat ditentukan oleh tingkat kesadaran teologis dari masing-masing individu. Yang termasuk Ibadah mahdhoh misalnya: Shalat, puasa, Zakat, dan haji.
Selain ibadah mahdhah, maka ada bentuk lain diluar ibadah mahdhah tersebut yaitu Ibadah Ghair al-Mahdhah atau ibadah ammah, yakni sikap gerak-gerik, tingkah laku dan perbuatan yang mempunyai tiga tanda yaitu:  pertama, niat yang ikhas sebagai titik tolak, kedua keridhoan Allah sebagai titik tujuan, dan ketiga, amal shaleh sebagai garis amal. Ada pula yang memberikan definisi ibadah ammah dengan semua perbuatan yang mendatangkan kebaikan dan dilaksanakan dengan niat yang ikhlas karena Allah SWT, seperti minum, makan, dan bekerja mencari nafkah.

C. Ruang lingkup ibadah.
Islam amat istimewa hingga menjadikan seluruh kegiatan manusia sebagai ibadah apabila diniatkan dengan penuh ikhlas karena Allah demi mencapai keridhaan-Nya serta dikerjakan menurut cara-cara yang disyariatkan olehNya. Islam tidak membatasi ruang lingkup ibadah kepada sudut-sudut tertentu saja. Seluruh kehidupan manusia adalah medan amal dan persediaan bekal bagi para mukmin sebelum mereka kembali bertemu Allah di hari pembalasan nanti. Islam mempunyai keistimewaan dengan menjadikan seluruh kegiatan manusia sebagai ibadah apabila ia diniatkan dengan penuh ikhlas karena Allah demi untuk mencapai keridaan Nya serta dikerjakan menurut cara cara yang disyariatkan oleh Nya. Islam tidak menganggap ibadah ibadah tertentu saja sebagai amal saleh akan tetapi meliputi segala kegiatan yang mengandung kebaikan yang diniatkan karena Allah SWT. Hakikat ini ditegaskan oleh Allah di dalam Al-Quran:
"Yang menjadikan mati dan hidup, supaya dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. dan dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun,"
Ruang lingkup ibadah di dalam Islam sangat luas sekali. Mencakup setiap kegiatan kehidupan manusia. Setiap apa yang dilakukan baik yang bersangkut dengan individu maupun dengan masyarakat adalah ibadah menurut Islam ketika ia memenuhi syarat syarat tertentu.
Syarat syarat tersebut adalah :
1.      Amalan yang dikerjakan itu hendaklah diakui Islam, sesuai dengan hukum hukum syara' dan tidak bertentangan dengan hukum hukum tersebut. Adapun amalan - amalan yang diingkari oleh Islam dan ada hubungan dengan yang haram dan maksiyat, maka tidaklah bisa dijadikan amalan ibadah.
2.      Amalan tersebut dilakukan dengan niat yang baik dengan tujuan untuk memelihara kehormatan diri, menyenangkan keluarga nya, memberi manfaat kepada seluruh umat dan untuk kemakmuran bumi seperti yang telah diperintahkan oleh Allah.
3.      Amalan tersebut haruslah dikerjakan dengan sebaik-baiknya.
4.      Ketika membuat amalan tersebut hendaklah sentiasa menurut hukum - hukum syara' dan ketentuan batasnya, tidak menzalimi orang lain, tidak khianat, tidak menipu dan tidak menindas atau merampas hak orang.
5.      Tidak melalaikan ibadah - ibadah khusus seperti salat, zakat dan sebagainya dalam melaksanakan ibadah - ibadah umum.

D. Tujuan Ibadah.
Manusia, bahkan seluruh mahluk yang berkehendak dan berperasaan, adalah hamba-hamba Allah. Hamba sebagaimana yang dikemukakan diatas adalah mahluk yang dimiliki. Kepemilikan Allah atas hamba-Nya adalah kepemilikan mutklak dan sempurna, oleh karena itu mahluk tidak dapat berdiri sendiri dalam kehidupan dan aktivitasnya kecuali dalam hal yang oleh Alah swt. Telah dianugerahkan untuk dimiliki mahluk-Nya seperti kebebasan memilih walaupun kebebasan itu tidak mengurangi kepemilikan Allah. Atas dasar kepemilikan mutak Allah itu, lahir kewajiban menerima semua ketetapan-Nya, serta menaati seluruh perintah dan larangan-Nya.
Manusia diciptakan Allah bukan sekedar untuk hidup di dunia ini kemudian mati tanpa pertanggungjawaban, tetapi manusia diciptakan oleh Allah untuk beribadahhal ini dapat difahami dari firman Allah swt. :
"Maka apakah kamu mengira, bahwa Sesungguhnya kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami? ”(QS al-Mu’minun:115)"
Karena Allah maha mengetahui tentang kejadian manusia, maka agar manusia terjaga hidupnya, bertaqwa, diberi kewajiban ibadah. Tegasnya manusia diberi kewajiban ibadah agar menusia itu mencapai taqwa.
  
II.                Kesalehan Sosial
A.    PENGERTIAN DAN CIRI – CIRI KESALEHAN SOSIAL
Secara bahasa kita bisa memaknai kesalehan sosial adalah kebaikan atau keharmonisan  dalam hidup bersama, berkelompok baik dalam lingkup kecil antar keluarga, RT, RW, dukuh, desa kota, Negara sampai yang paling luas dunia.
Allah SWT berfirman, “ jikalau sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi “ (Al Qur’an)
Pesan utama ayat ini, disatu sisi, dapat dilihat dari sebagai janji Allah yang menyatakan bahwa jiwa sesuatu masyarakat beriman dan bertaqwa, maka mereka akan memperoleh keberuntungan. Disisi lain, pesan utama ayat ini juga mengilustrasikan hubungan kausalitas antara iman – takwa dengan kesejahteraan hidup para pemeluknya.
Pertanyaanya, bagaimana iman- takwa ini dapat menjadi pemandu serta nilai-nilai yang mendorong manusia untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup seluruh alam ? takwa, dalam ini, dapat dipahami sebagai keadaan kualitas jiwa seseorang yang membimbing dan memandu hidupnya dalam mewujudkan kondisi sosial yang makmur dan sejahtera bagi seluruh alam semesta. Kesejahteraan kolektif ini akan terwujud dengan sendirinya jika setiap individu telah melaksanakan ketentuan-ketentuan iman – takwa secara utuh dan benar, yang mana manifestasi iman dan takwa itu harus diwujudkan dengan perilaku yang baik dalam hubunganya dengan sang pencipta atau dalam hubungannya dengan sesama manusia dan lingkungan yang kemudian kita kenal dengan perilaku ibadah. Bahkan, keberkahan yang datang dari langit dan bumi itu hanya akan lahir dari keimanan dan ketakwaan.
Untuk melihat dimensi-dimensi ketakwaan seseorang khususnya dalam kaitanya dengan ukuran-ukuran kesalehan individu dan sosial, lima ciri penting manusia yang shaleh secara sosial.
Pertama, memiliki semangat spiritualitas yang diwujudkan dalam sistem kepercayaan kepada sesuatu yang “gaib” serta  berketuhanan dan pengertian beragama atau menganut sesuatu kepercayaan agama. Masyarakat yang memiliki kualitas kesalehan sosial itu adalah masyarakat beragama, masyarakat yang percaya pada hal-hal yang gaib. Ciri ini juga sekaligus menjadi ukuran kedewasaan seseorang, baik dalam kehidupan sosial, politik maupun kehidupan beragama sendiri. Masyarakat yang memiliki kesalehan sosial yang tinggi akan mengedepankan etika beragama dan keberagamaan.
Kedua, terikat pada norma, hukum, dan etika seperti tercermin dalam struktur ajaran sholat. Sholat juga mengajarkan kepada para pelakunya untuk terbiasa disiplin. Disiplin dalam hidup sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Artinya masyarakat yang memiliki kesalehan sosial itu adalah mereka yang konsisten menegakan hukum dan hukum menjadi aturan main.
Ketiga, memiliki kepedulian sosial yang salah satu perwujudanya ditandai dengan kesanggupan berbagi terhadap golongan yang lemah. Keadilan sosial itu harus diwujudkan secara bersama oleh seluruh komponen masyarakat dan bukan hanya oleh penguasa.
Keempat, memliki sikap toleran sebagai salah satu dari perwujudan dari keimanan terhadap adanya pengikut kitab-kitab suci selain kitab sucinya sendiri. Ajaran ini juga sekaligus mengisyaratkan adanya pluralitas kehidupan, baik pada aspek agama dan kepercaan maupun pada aspek sosial budaya lainya. Dinamika masyarakat juga akan terus berubah membentuk struktur sosial yang semakin beragam. Di sinilah arti penting mengembangkan sikap toleran, khususnya dalam menyikapi secara terbuka perbedaan-perbedaan sebagai suatu keniscayaan.
Kelima, berorientasi kedepan sebagai salah satu wujud dari keimanan terhadap adanya hari akhir. Masyarakat yang memiliki dimensi kesalehan sosial itu adalah mereka yang berorientasi kedepan , sehingga akan selalu mementingkan kerja keras untuk membangun hari esok yang lebih gemilang.
III.             KESIMPULAN
Kesalehan sosial dapat kita capai dengan sendirinya sejalan dengan pelaksanaan ibadah maghdhah dan ibadah ammah karena dalam ibadah sudah mencakup keseluruhan aspek perilaku manusia. Dalam ibadah maghdhah kita bisa melihat hikmah yang terkandung dalam ibadah yang sudah disyariatkan oleh Allah SWT, misalnya dalam pelaksanaan sholat, dengan sholat kita menjadi terlatih untuk disiplin, apalagi ketika sholat itu dengan berjamaah, tali silaturahim antara sesama muslim akan semakin kokoh, belum lagi dalam jamaah itu tidak ada saling membedakan jabatan status dan sebagainya. Pada zakat juga kita bisa melihat hikmah yang terkandung didalamnya, bagaimana sikaya “berbagi” memberikan hartanya kepada yang tidak punya dan banyak hikmah yang lain dalam ibadah maghdhah.
Dalam ibadah ammah lebih jelas, ketika dipahami bahwa perbuatan atau kegiatan apapun ketika diniati lillah dan tidak bertentangan dengan syari’ah itu termasuk ibadah, dengan demikian kesalehan sosial akan tercapai ketika kita senantiasa beribadah, karena dalam tatanan syariah semuanya maslahah untuk kehidupan manusia baik secara individu maupun sosial.

IV. PENUTUP.
Demikianlah makalah sederhana ini kami buat. Namun demikian, kami sebagai penyusun menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Kami mohon maaf apabila masih banyak ditemui kesalahan, itu datangnya dari kealpaan kami. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami harapkan dari pembaca semua.



DAFTAR PUSTAKA

Syarifudin, Amir, Garis-Garis Besar Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2003), Cet. Ke-2.
Syihab, M. Quraisy, M. Quraisy Syihab Menjawab 1001 Soal Keislaman Yang Patut Anda Ketahui, (Jakarta: Lentera Hati, 2008), Cet. Ke-1.
Al manar, Abduh, Ibadah Dan Syari’ah, (Surabaya: PT. pamator, 1999), Cet. Ke-1
Daradjat, Zakiyah, Ilmu Fiqih, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), Cet. Ke-1.
Yusuf Qardhawi, Konsep Ibadah Dalam Islam, (Bandung: Mizan, 2002), Cet. Ke-2.
Bisri Mustafa, Tin Tisnawati, Rahasia Keajaiban Shalat dan Dzikir, (Surakarta: Qaula, 2007) Cet. Ke-1

Rabu, 07 September 2011

PERANAN ICT DALAM PENDIDIKAN DI PESANTREN

Oleh : Muh Sodikin

Kesan pertama saat berkunjung di beberapa pondok pesantren didaerah pedesaan, antara kesederhanaan dan kemiskinan seolah tidak ada bedanya. Keadaan itu menjadikan banyak orang berfikir,  mustahil mereka (santri pesantren di pedesaan) akan siap menghadapi jaman yang sedang mengglobal ini. Betapa tidak, dalam hingar-bingar  dan  hiruk-pikuk  manusia  yang  serba modern  dengan kecanggihan teknologi terkini di kota-kota besar, para santri justru berasyik-ria dalam lingkungan yang tidak lagi lebar dan luas. Mereka asyik memasak sambil menghafal. Mereka asyik menyimak dalam pengajian di ruang-ruang yang umurnya tak lagi muda. Dengan kesederhanaan   dalam   hidup   keseharian   seolah   mereka   tidak   menggubris perkembangan teknologi yang ada. Setidaknya demikianlah beberapa potret pesantren yang masih menjaga betul iklim dan tradisi lama yang telah mengakar, pesantren ini oleh banyak kalangan disebut pesantren tradisional.
Gambaran itu berbeda, ketika kita melihat beberapa pesantren yang lain masa ini, mereka (para santri) menikmati majlis musyawarah penuh semangat, dihadapanya terdapat seperangkat computer dengan LCD proyektor serta berbagai macam literature dan kitab kuning digital. Disisi lain mereka mendapatkan berbagai informasi terbaru baik nasional  maupun internasional dengan berselancar dalam dunia internet. Inilah dua potret pesantren, memiliki  karakteristik  tersendiri,  walau  unsur-unsurnya  sama.  Sebagai lembaga pendidikan, pesantren mempunyai tujuan yang sangat komplek, meski berbeda dalam proses implementasinya.

Tujuan Pendidikan Pesantren
Tujuan pendidikan pesantren, menurut Kiai Sahal (baca: Pesantren Mencari Makna) adalah menyiapkan atau membentuk manusia yang “akram” dan “shaleh”, dengan pengertian yang luas. Akram dalam pengertian bahwa ia lebih taqwa dan berdisiplin yang kuat di dalam melakukan ibadah secara luas, dimana ibadah itu merupakan tugas manusia yang pertama sebagai khalifah Allah. Sedangkan arti Shalih ialah yang mampu mewarisi (mengatur, mengelola, dan megembangkan) bumi ini sebagai implementasi dari tugas manusia yang kedua yaitu imaratul ardli.
Pendapat beliau ini didasarkan pada keterangan dalam Al-Quran surat Al-Hujurat 13:
“ Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Ini merupakan justifikasi dari aspek “akram” yang menjadi pendapat beliau (K.Sahal), kemudian pada aspek “shalih” K. Sahal merujuk pada ayat yang lain yaitu Al-Qur’an surat al-anbiya 105  
dan sungguh telah Kami tulis didalam Zabur sesudah (kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hambaKu yang saleh.

Dari rumusan tujuan diatas menuntut formasi pendidikan pesantren tidak sekedar lembaga pendalaman pengetahuan keagaman semata sebagaimana yang dikira banyak orang meskipun dalam hal keagamaan menjadikan suatu prioritas utama, namun secara integratif telah nampak bahwa ilmu-ilmu umum secara intens juga di ajarkan dibanyak pesantren.
Pesantren dan Pengembangan Kurikulum
Dewasa ini dalam dunia pesantren telah banyak menunjukkan beberapa perubahan, utamanya dalam hal kurikulum. Dimana dengan memasukkan ilmu-ilmu umum di pesantren merupakan suatu tuntutan dalam pengembangan kurikulum pendidikan pesantren serta tuntutan globalisasi yang mana mustahil untuk dihindari namun lebih tepat untuk menyikapi arus globalisasi terebut. Kombinasi kurikulum inilah melahirkan pendidikan formal misal SMP/MTS, SMA/MA dan lain sebagainya sesuai dengan standar pendidikan yang telah ditetapkan pendidikan nasional. Walaupun pada dasarnya pesantren masih mempunyai otonomi bagi penentuan kebijakan terhadap sistem pendidikannya, namun hanya pada masalah-masalah yang prinsipil bagi misi pesantren.
Berdasar hal diatas, dapat disimpulkan bahwa sistem pendidikan yang ditempuh pesantren menunjukan sifat dan bentuk yang lain dengan pola pendidikan nasional. namun setidaknya sistem pendidikan pesantren juga merupakan integrasi yang partisipatif terhadap pendidikan nasional. Karena pola pendidikan nasional sebagaimana ditunjukan dalam UU Sisdiknas adalah bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia. Sehingga kurikulum pendidikan pesantren adalah bentuk lain yang tidak bertentangan dengan pendidikan nasional.
Perubahan sub sistem pendidikan pesantren  dalam hal ini lembaga yang muncul di dalamnya telah melahirkan perubahan-perubahan pada metode dan materi pengajarannya. Metode pangajaran telah banyak menempuh kurikulum kolaborasi antara yang agama dan non agama. Kurikulum campuran sebenarnya timbul dari tuntutan untuk mengembangakan ilmu pengetahuan umum yang merupakan kebutuhan nyata yang harus dipenuhi para alumni pesantren. Dari arah ini materi pengajaran juga ditambah dengan transfer dengan jenis-jenis ilmu pengetahuan baru ke dalam sistem pendidikan pesantren.
Berdasar pada lahirnya pengetahuan umum, pesantren dituntut untuk senantiasa meng-update metode pengajarannya sebagaimana banyak penawaran metode dari banyak pakar pendidikan serta hal-hal yang menunjang pengembangan pembelajaran melalui beberapa sarana misal sarana teknologi, informasi dan komunikasi (TIK) atau information, communication and tegnology (ICT).
Memperhatikan hal tersebut seiring dengan kemajuan TIK, karena pesantren juga merupakan satu komunitas pembelajaran, pesantren dapat memanfaatkan TIK untuk memperluas cakupan dakwah dan pendidikan masyarakat. Di samping tentu saja dapat memperbaiki dan meningkatkan kualitas pendidikan formalnya. Hal ini sangat mungkin dilakukan karena dari sisi sumberdaya manusia jelas sudah lengkap. Dalam arti, ada nara sumber (kyai dan ustadz), ada santri yang biasa mandiri, ada media interaksi, ada sarana dan prasarana pendidikan, dan manajemen pesantren. Karena di dunia nyata pesantren secara umum sudah berjalan dengan baik dan teratur, oleh karena itu sangat mungkin membawa pesantren nyata ke pesantren maya atau pesantren elektronik

Pesantren dan ICT/TIK
Berbica lebih lanjut tentang ICT/TIK dalam pendidikan termasuk pendidikan pesantren, mempunyai peran yang sangat besar, diantaranya menurut  Dr. munir (http//munir.staf.upi.edu)peran TIK dalam pendidikan sebagai berikut :
1.      TIK  sebagai Keterampilan (skill) dan Kompetensi
2.      TIK sebagai Infrastruktur Pendidikan
3.      TIK sebagai Sumber Bahan Belajar
4.      TIK sebagai Alat Bantu dan Fasilitas Pendidikan
5.      TIK sebagai Pendukung Manajemen Pendidikan
Jadi sangat jelas sekali peran TIK dalam pendidikan sangat besar sekali.
Kemajuan TIK telah mendorong orang kreatif untuk merealisasikan dan memajukan gagasan atau ide secara efektif dan efisien, terutama bagi pengembangan pesantrennya. Terlihat dari banyaknya pesantren saat ini yang telah memasukkan ICT sebagai fasilatas penunjang dalam proses pembelajaran kegiatan kurikuler, mengaji atau pendidikan formal di madrasah, baik laborat bahasa, internet, multimedia dan lain sebagainya. Bahkan lebih dari itu, mempunyai website sebagai layanan informasi, refrensi maupun dakwah dengan cakupan yang lebih luas. Sebagaimana hasil penelitian departemen agama terhadap beberapa pesantren di jawa yang telah menggunakan ICT/TIK sebagaimana pengembangan lembaga dan pendidikannya; PP.  Raudhatul  Falah,  Rembang,  Jawa  Tengah;PP. Hasyim AsyĆ¢ari, Jepara, Jawa Tengah;PP. Nurul Islam, Jember, Jawa Timur;PP. Nurul Jadid, Probolinggo, Jawa Timur; PP. Al-Mizan, Majalengka, Jawa Barat; PP. Miftahul Huda Al-Musri, Cianjur, Jawa Barat; PP. An-Nizhommiyah, Pandenglang,  Banten;  dan  PP.  Al-Kennaniyah,  Jakarta  Timur.
Kemajuan  TIK/ICT yang lain, pada saat ini beberapa kelompok anak muda, yang (mungkin) tidak mempunyai pesantren nyata, telah berupaya membangun pesantren elektronik (e-pesantren), seperti pesantren indigo dan  pesantren virtual. Ide dasar dari pesantren virtual adalah upaya membangun dan menumbuhkembangkan ide Islam dengan segala wacananya. Lahirnya Pesantren Virtual  merupakan jawaban akan perlunya pengembangan sistem pendidikan pesantren di era digital dan informasi. Pesantren Virtual juga merupakan bukti bahwa sistem pesantren juga bisa ikut meramaikan era informasi dengan warna dan misi yang tidak berubah dari pondok pesantren (konvensional) yang ada. Dalam e-pesantren, seperti pada situs http://pesantrenvirtual.com/,  terdapat juga program-program seperti dalam pesantren konvensional. Menu-menu seperti Konsultasi Ustadz, Dzikir dan Doa, Hikmah, Konsultasi, Tanya Jawab, Fiqih, dan kajian-kajian lainnya. Ini menunjukkan bahwa dengan TIK media dakwah atau syiar Islam dari para ustadz dan santri bisa bertambah. Setiap saat mereka akan berdakwah, tidak akan menemui masalah karena medianya semakin mudah. Memperhatikan karakteristik  e-pesantren tersebut, jelas bahwa model ini sangat bermanfaat, baik bagi santri maupun tenaga pengajar (ustadz), bahkan juga bagi para pengelola pesantren.   E-pesantren memungkinkan pelaksanaan pembelajaran jarak jauh semakin mudah dan terbuka.
Bagi santri jelas bahwa  e-pesantren ini akan melatih dan meningkatkan kemandirian santri. Di samping itu, juga memberikan kemudahan bagi santri untuk mengakses materi belajar dari mana pun berada. Oleh karenanya, para santri dapat menghemat biaya dan waktu untuk tranportasi dari dan ke pondok pesantren. Tetapi yang jelas, keuntungan yang terpenting adalah bahwa para santri dapat belajar sesuai dengan kemampuannya tanpa perlu rasa minder atau malu dengan teman-teman lainnya, yang barang kali lebih cepat dan pandai dalam belajarnya. Berikut ini adalah beberapa keuntungan yang dapat diperoleh bagi santri dengan adanya model e-pesantren :
1.      Membangun interaksi ketika santri melakukan diskusi secara on line.
2.      Mengakomodasi perbedaan santri.
3.      Santri dapat mengulang materi belajar yang sulit berkali-kali, sampai pemahaman diperoleh.
4.      Kemudahan akses, kapan saja dan di mana saja.
5.      Santri dapat belajar dalam suasana yang ‘bebas tanpa tekanan’, tidak malu untuk bertanya (secara on line).
6.      Mereduksi waktu dan biaya perjalanan.
7.      Mendorong santri untuk menelusuri informasi ke situs-situs pada world wide web.
8.      Memungkinkan santri memilih target dan materi yang sesuai pada web.
9.      Mengembangkan kemampuan teknis dalam menggunakan internet.
10.  Mendorong santri untuk bertanggung jawab terhadap belajarnya dan membangun self-knowledge dan self-confidence.
Sedangkan bagi para ustadz,  e-pesantren juga memberikan banyak manfaat. Di antaranya yang terpenting adalah bahwa ia selalu dapat memberikan materi dan masalah-masalah yang  up-to-date untuk dikaji kepada para santrinya. Keuntungan yang lain adalah :
1.    Kemudahan akses kapan saja dan di mana saja
2.    Mereduksi biaya perjalanan dan akomodasi pada program  pelatihan.
3.    Mendorong para ustadz mengakses sumber-sumber kajian yang up-to-date.
4.    Memungkinkan para ustadz mengkomunikasikan gagasan-gagasannya dalam cakupan wilayah yang lebih luas.
Bagi pengelola pesantren, e-pesantren juga mempunyai manfaat yang sangat luas, di antaranya adalah meningkatkan  prestise dan akuntabilitas lembaga. E-pesantren memungkinkan menciptakan sistem  distance education dan  virtual school/boarding. Dengan sistem ini jelas bahwa pengelola pesantren tidak lagi perlu direpotkan dengan pengadaan ruang-ruang belajar dan sarana lainnya seperti dalam pesantren tradisional. Ini berarti e-pesantren akan menghemat biaya pengadaan prasarana untuk pembelajaran dan biaya operasional pemeliharaan peralatan dan gedung.
Wal hasil, dengan adanya ICT di pesantren telah diakui sebagai salah satu terobosan untuk meningkatkan SDM santri, ustadz, managemen kelembagaan serta kurikulum pendidikannya. Serta dengan konsep e-pesantren memberikan para santri, ustadz, dan pengelola pesantren untuk mengambil banyak manfaat, di antaranya fleksibilitas program pendidikan, dakwah syiar islam, dan bahan kajian yang dapat dibuat lebih menarik dan berkesan.
Daftar Pustaka:
1.      Munir, Dr.,M.IT.”Dampak Teknologi Informa dalam pendidikan”.(http//munir.staf.upi.edu)
2.      Arifin, M. (1995) Kapita Selekta Pendidikan Islam dan umum. Jakarta: Bumi Aksara.
3.      Budi Raharjo (2001)    Internet dan Pendidikan.
4.      Sahal, Mahfud, Dr. KHMA, Pesantren Mencari Makna, Lkis, Yogyakarta
5.      Dhofier, Zamakhsyari (1982)  Tradisi  Pesantren:  Studi  tentang Pandangan Hidup Kiai. Jakarta: LP3ES.
7.      www.kompas.co.id